Jumat, 27 Januari 2017

Ngaturan Idangan dan Nangluk Merana "Sebuah Benteng Sterilisasi di Desa Adat Kedonganan

Ngaturan Idangan Dan Nangluk Merana
 sebuah benteng sterilisasi di desa adat kedonganan

           Upacara "Ngaturan idangan merupakan sebuah prosesi ritual yg dilaksanakan pada tilem sasih kepitu di desa adat kedonganan. Secara etimologinya "ngaturan" yg berarti mempersembahkan dan "idangan "berarti beberapa jenis makanan/ suguhan.
Sebuah prosesi  Butha Hita syarat dengan makna nangluk merana sebagai permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa  dalam manifestasinya sebagai Dewa Baruna/penguasa Laut agar berkenan menangkal atau mengendalikan gangguan - gangguan , serta memberikan dampak positif bagi lautan beserta ekosistemnya  agar tidak membawa kehancuran atau penyakit (mrana).
 Sedangkan "Nangluk Mrana" berasal dari kata bahasa Bali yang kemungkinan juga mendapat pengaruh bahasa sansekerta.“Nangluk”  berarti empangan, tanggul, pagar, atau penghalang; dan “mrana”  berarti hama atau bala penyakit. Mrana adalah istilah yang umum dipakai untuk menyebut jenis-jenis penyakit  yang merusak  tanaman. Bentuknya bisa berupa serangga, binatang maupun dalam bentuk gangguan keseimbangan kosmis yang berdampak merusak  tanaman. 
           Khususnya di desa kedonganan, kec kuta,kabupaten badung ini, merupakan wilayah yang diapit oleh lautan dengan kebiasaan daerah setempat menyebutkan pesisir kauh"/pantai barat dan "pesisir timur/ pantai timur(mangrove). Dengan meneropong secara geografis dari sisi barat dan timur desa adat kedonganan tentunya dekosistem maritim harus dijaga agar  keseimbangan kosmis tetap harmonis. Karena demikian pentingnya kedudukan air dalam hidup ini tampaknya hal itulah yang menyebabkan dalam Manawa Dharmasastra IV.56,
  1. sangat dilarang membuang air kencing, kotoran, barang yang beracun ke Sungai. 
  2. sangat dilarang berludah, membuang darah,
  3.  hal-hal yang berbisa serta tidak boleh melemparkan kata-kata yang tidak suci ke Sungai

                 Karena adanya laut akan menimbulkan hujan, merupakan tempat hidup flora dan fauna dan menciptakan iklim yang kondusip bagi kehidupan ini yang dalam kearifan lokal masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup maka perlunya sumber air tersebut senantiasa harus dijaga kebersihannya jangan sampai tercemar  
   Hal ini diaplikasikan oleh masyarakat Desa Adat Kedonganan dengan upacara Ngaturan Idangan atau juga bisa diistilahkan dengan prosesi Mapekelem, yang mempunyai makna memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Dewa Baruna sebagai penjaga samudra, semoga kehidupan di laut yang berfungsi untuk kehidupan ini berjalan dengan baik


Dengan pelaksanaan prosesi Ngaturan idangan dan Nangluk merana tersebut masyarakat secara bersama sama melaksanakan yasa kerti, dengan,

  1. Nunas tirta Ulam Caru yang disiapkan manggala desa
  2. Nancebang sanggah cucuk( bucu telu) disebelah kanan pintu keluar rumah Lengkap dengan carang tiying gading, kober gana pati, sujang ( 1 berisi air putih, dan 1 berisi arak berem ). upakara pekeling jangkep, punjung putih kuning, bungkak nyuh gading. Dilengkapi pula segehan panca warna maulam oahan bawi mentah dan jatah lembat asem asiki. 
  3. Dan di merajan / sanggah kemulan menghaturkan pakeling jangkep punjung putih kuning serta natar snggah menghaturkan segehan panca warna





 de ana arya pinatih"

Sabtu, 05 November 2016

SEJARAH &MAKNA
TRADISI MEBUUG-BUUGAN 
DESA ADAT KEDONGANAN





Sejarah Mebuug-buugan
            Pada era penjajahan jepang tahun 1942-1945 ,  keberadaan tradisi mebuug-buugan sudah berakar dan manjadi permainan yang sangat ditunggu – tunggu   di kalangan masyarakat kedonganan. Menurut salah satu informan yang bernama Ni Wayan Doglas, pada masa itu adalah Alm I Wayan Glibeg yang merupakan penggerak atau inisiator munculnya istilah mebuug-buugan. Aktivitas ini awalnya dilaksanakan bertepatan dengan hari raya nyepi atau tilem kesanga, karena menurut informan pada perayaan nyepi terdahulu diperbolehkan untuk melakukan aktivitas. Hanya saja tidak diperbolehkan mesuunan” atau memikul sesuatu benda di kepala. Oleh karenanya muncul beberapa gagasan dari salah satu kelompok yang diketuai oleh Alm I Wayan Glibeg yang akhirnya permaianan Mebuug-buugan ini selalu berjalan secara spontanitas. Pada masa kepimpinan Alm I Wayan Rempyeg (Kak Kleneng) menjabat sebagai Kelian Desa (Bendesa) tradisi mebuug buugan telah menjadi sebuah permainan dikalangan anak-anak dan masyarakat saat itu.
Berlanjut pada era Alm I Wayan Rempyeg (Kak Kleneng)  menjadi Kepala Desa, salah satu informan kunci dan sekaligus sebagai pelaku I Made Gandil yang sempat bersekolah di SR/ KUTSU JUKLU KOGAKO, KUTA, juga merupakan generasi kedua setelah dipelopori oleh Alm I Wayan Glibeg. I made Gandil kelahiran 1923 ini, juga lebih dikenal dengan nama Pekak Okoh   merupakan salah satu pionir munculnya beberapa aktivis kelompok masyarakat yang jaman tersebut di kedonganan dikenal dengan nama Funu Bongkol, dan Funu Tebe. Sehingga ketika I made Gandil menjabat menjadi kepala Desa Kedonganan Tradisi mebuug-buugan diteruskan oleh I Made Rugeh berasal dari banjar pasek kelahiran tahun 1946. Pada era I Made Rugeh terlibat sebagai pelaku dan inisiator saat itu sempat mengalami masa stagnan sehingga  Pada tahun 1960 tradisi mebuug-buugan dimunculkan kembali oleh I Komang Rapeng. Ketika I Komang Rapeng sebagai penggerak atau pinpinan kelompok permainan mebuug-buugan, pelaksanaan dari tradisi mabuug – buugan dilaksanakan pada saat manis nyepi, yang dikarenakan adanya seruan dari parisada bahwasannya pada saat nyepi tidak diperkenankan melakukan aktivitas apapun. Letusan gunung agung pada tahun 1963,  hingga pada tahun 1965  yaitu terjadinya Peristiwa  G/30/ S PKI, yang pada saat itu terjadi penumpasan partai komunis Indonesia , momentum ini sekaligus menjadi saksi bisu tersimpannya permata budaya di desa adat kedonganan yaitu tradisi mebuug-buugan.

MAKNA
Secara etimologi bahasa mebuug-buugan berasal dari kata “ Buug “ yang berarti tanah / lumpur dan “ bhu ” yang artinya ada atau wujud, sehingga berafiliasi menjadi kata “Bhur ” yang artiya Bumi, tanah atau pertiwi  sehingga awalan me- menjadi sebuah kata kerja atau aktivitas. Dapat diartikan mebuug-buugan berarti sebuah interaktivitas dengan menggunakan tanah/ lumpur ( buug) sebagai media.
Dalam lontar Siwa Sesana, juga menyebutkan Lembu Nandini sebagai wahana Dewa Siwa, yang tidak lain sebagai lambang ibu pertiwi ( Bhur ) dan lambang kesuburan. Dalam kontekstual makrokosmos ( Bhuwana Agung ) mebuug-buugan adalah bentuk ucapan syukur atas  Kesuburan yang telah dilimpahkan pada bumi pertiwi ( Bhuwana Agung ) sebagai tempat manusia dan semua makhluk hidup ciptaan-Nya  berkembang biak. Sangat jelas diungkapkan dalam tradisi mebuug-buugan ,hal ini dipertegas dengan lagu berikut:
‘Mentul-menceng, mentul – menceng’
‘Glendang-glendong, glendang – glendong.’
Lirik lagu yang dinyanyikan selama perjalanan tradisi mebuug-buugan ini sangat singkat dan secara umum mewakili dari makna’ Purusa dan Pradana” antara lingga dan yoni”
Sedangkan dari kontekstual mikrokosmos  dari kata “Bhu” yang berarti ada atau wujud, merupakan perwujudan badan kasar manusia ( Bhuwana Alit ) yang terbentuk dari kelima unsur Panca Maha Bhuta.  Dalam Lontar Bhumi Kawulan / Bhumi Siwagama  menguraikan ; Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara Guru mengutuk-Nya dan turun ke dunia menjadi Panca Dhurga yaitu ; Sri Dhurga, Raji Dhurga, Suksmi Dhurga, Dhari Dhurga, dan Dewi Dhurga. Sri Dhurga beryoga menciptakan Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Bhuta Dengen. Raji Dhurga beryoga minciptakan Jin-Setan, Bragala-Bregali, Bebai dan segala jenis penyakit. Dhari Dhurga beryoga menciptakan Sang Bhuta Kapiragan, Suksmi Dhurga beryoga menciptakan Kumala-Kumali ,Sweta dan lain-lain. Dewi Dhurga beryoga menciptakan Bhuta Jangitan, Bhuta Langkir, Lembu Kere, Lembu Truna, dan Bhuta Tiga Sakti. Melihat Uma menjadi Dhurga maka Bhatara Guru  mengutuk diri-Nya sendiri menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada dewi Uma terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang waktu.
Melihat dari refrensi lontar Bhumi Kawulan / Bhumi Siwagama semua unsur baik makrokosmos ( Bhuwana Agung ) maupun mikrokosmos ( Bhuwana Alit ) yang terbentuk dari unsure – unsure Panca Maha Bhuta, diliputi dan dipenuhi oleh kekuatan Bhuta Kala yang senantiasa memenuhi ruang dan  waktu. Dalam hal ini manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan juga tidak terhindar dari kekuatan bhuta yang  memenuhi ruang dan waktu tersebut. Oleh karena itu seyogyanya umat Hindu menetralisir hal-hal atau pun sifat – sifat buruk yang berasal dari sifat sifat Panca Maha Bhuta sebagai unsure pembentuk badan kasar. Dalam hal menetralisir kekuatan / sifat – sifat buruk pada diri manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan tapa Brata Yoga Semadi.
 Korelasi mebuug – buugan dengan pelaksanaan Tapa Brata Yoga Semadi dalam rangka menetralisir kekuatan Panca Maha Bhuta ( Nyomia Bhuta ) sangat jelas terlihat dari rangkaian pelaksanaan prosesinya. Dimulai dari kegiatan upacara yang bertujuan untuk menetralisir keuatan bhuta pada makrokosmos dengan pelaksanaan upacara menghaturkan caru Tawur Kesanga yang dipusatkan pada catus pata sebagai stana sang hyang adikala. Sedangkan pada diri manusia (mikrokosmos ), kekuatan bhuta dinetralisir dengan melaksnakan Catur Brata Penyepian yang pelaksanaannya bertepatan pada hari Raya Nyepi. Pelaksanaan Catur Brata Penyepian meliputi  Amati Geni, Amati Lelungaan, Amati karya, Amati Lelangunan. Dengan memaknai sebuah pengendalian diri / introspeksi diri ( Mulat Sarira ), kita diharapkan mampu mengendalikan segala bentuk kekuatan bhuta yang ada dalam diri manusia, sehingga kita bisa terbebaskan dari  dosa atas pikiran, dosa atas perkataan dan dosa atas perbuatan kita.
Visualisasi dari belenggu kekuatan Bhuta dan keterbebasan kita dari kekuatan Bhuta itu sendiri diwujudkan dengan mebuug – buugan. Dalam konteks mebuug-buugan manusia yang divisualisasikan dengan balutan gestur tanah / lumpur di maknai sebagai perwujudan Bhuta Kala atau kekotoran yang melekat dalam badan kasar manusia.
Untuk dapat menghilangkan kekuatan bhuta dalam buana alit ( badan Kasar manusia), akan dimohonkan anugrah dari kekuatan laut (Segara) yang berfungsi sebagai kekuatan penyempurnaan ( Pemarisudha )

oleh;
I Made Sudarsana S.Sn.,M.Sn









Selasa, 25 Oktober 2016


Come join preserve the arts"



TARI LEGONG
 LEGOD BAWA

Sinopsis :
Tari Legong Legod Bawa adalah salah satu jenis tari klasik yang tetap berpijak pada pakem Palegongan  yang disesuaikan dengan keinginan penciptanya dahulu.     Tari Legong Legod Bawa,menceritakan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu yang sedang bercengkrama di Sorga dan saling membanggakan kesaktiannya. Percakapan mereka pun terdengar oleh Dewa Siwa, sehingga Dewa Siwa pun menjadi penengah bagi mereka berdua dengan cara berubah menjadi Lingga sembari mengajukan syarat barang siapa yang mampu menemukan ujung ataupun pangkal Lingga tersebut, maka dialah yang lebih sakti. Dewa Brahma dan Dewa Wisnu merasa tertantang untuk menunjukkan kesaktiannya. Dewa Brahma memutuskan untuk berubah menjadi burung api yang akan mencari puncak Lingga tersebut. Dewa Wisnu pun menjadi Warak (Babi hutan besar) yang akan mencari pangkal dari Lingga Dewa Siwa. Semakin tinggi Dewa Brahma terbang, semakin tinggi pula ujung Lingga. Demikian halnya Dewa Wisnu yang semakin ke bawah mencari pangkal Lingga, semakin jauh ke bawah pula pangkal Lingga tersebut. Akhirnya, Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tak kuasa lagi berusaha menemukan ujung dan pangkal Lingga Dewa Siwa. Keduanya pun menyerah dan akhirnya sadar bahwa di atas kekuatan yang mereka miliki, masih ada kekuatan lain yang jauh melebihi dan tak terkira sampai mana batas kekuatannya yaitu Siwa sebagai MAHA DEWA.
TARI GURNITA REBANA


Tari Gurnita Wira Rebana ini merupakan tari kreasi baru yang diciptakan oleh bapak Ida Bagus Karang Arnawa (alm) dengan bapak I Nyoman Suarsa pada tahun 1982, dengan pencipta tabuh yaitu bpk I Ketut Gede Asnawa. Bentuk tarian ini  yakni tari kelompok bebarisan yang diangkat dari pasukan prajurit pada jaman pemerintahan kolonial Belanda yang ada di Bali, dengan menonjolkan gerakan - gerakan  yang kocak ,dinamis, atraktif, dan   rebana sebagai identitas alat musik pengiring dari tari Gurnita Rebana.
PIDARTA BASA BALI
AJEG BALI SULUH IKANG PRABHA

Om Swastyastu
Maka murdaning atur, pinih ajeng mantuka ring ida dane sareng sami,mustikannyane pisan angga juri sane kusumayang titiang. Sadurung titiang matur, lugrayang titiang ngaturang suksmaning manah mantuka ring Ida Hyang Prama Kawi, riantukan sangkaning asung kertha wara nugraha Ida, titiang prasida sadu ajeng ring ida dane sareng sami, gumantinipun ngamiletin Utsawa Pidarta Basa Bali, majalaran antuk pemargi utsawa sane kelaksanayang olih Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung ring warsa 2016 puniki.
Mungguing pidarta sane pacang atur uningayang titiang mamurda “ Ajeg Bali Suluh Ikang Prabha’’Dumadak wekasan pemargi asapuniki sida kaanggen serana nincapang kaweruhan para jana Baline pamekas pretakjana nusantara sami.
Ida dane sareng sami
Maosang indik Ajeg Bali, punika merupa pabuat sane dahat mautama pisan. Riantukan pawangunan jagat Baline kapungkur wekas, tan lempas ring swadharma sane mapiranti antuk pikukuh Tri Hita Karana, sane kajiwa pramanin antuk sastra agama Hindu. Puniki sami sida werdi tur limbak, majanten sangkaning kawentenan adat lan budaya Baline sane mentik ring Desa Pakramane.
Tri Hita Karana inggih punika merupa serana nyujur kerahayuan urip, sanatana dharma, wastu sida moksartam jagat hita, melarapan antuk subakti ring ida sang hyang Parama Kawi, paras- paros pasidikaraan ring sesamen manusa miwah treasna sih ring sarwa mauripe. Sami puniki mangda kadasarin antuk Tri Kaya Parisudha, saha kaetang madulururan antuk catur marga. Duaning asapunika sandang pisan telebang angge geguat lan sepat siku-siku pematut nitenin urip maka karma Bali, bilih-bilih ring panglimbak aab jagate mangkin, yan inargamayang titiang, tan bina luwir segara tan patepi, capuh tan pawates.
Napi malih ring pungkuran puniki wenten makudang-kudang wicara nibenin panegaran druene sane merupa krisis multidimensional, napi malih wentene reklamasi teluk benoa sane wiakti  ngemetuang pikobet krama Baline. Nanging punika mawasta pakibeh jagat, iraga patut yatna yatna ring kawentenan. 
Pamekas iraga sareng sami mangkin, mangda sida ngayunin mlarapan antuk mulat sarira. irage sareng sami maka pewaris sekadi mangkine kebaos putra bangsa mangda yukti-yukti nyejerang rasa sutindih ring gumi, maka putra sane kasinanggeh suputra, putra sane setate mingsinggihang dharmaning agama lan dharmananing Negara, sane gumanti kasungkemin tur kasinggihang ring jagate. Ring pustaka suci druwene wenten kabaos asapumiki ;
Sang Hyang candra tranggana
Pinak dhipa mamandangi ri kala wengi,
Sang Hyang Surya sedeng prabata,
Maka dhipa mamandangi ri bumi mandala,
Widya sastra sudharma
Dhipa nikanang tri bhuwana prabhaswara,
Yan ring putra suputra
Sadhu gunawan mamandangi kula wandhu wandawa.

Teges ipum ;
Sang Hyang Candra utawi bulan miwah bintang
Punika maka suluh rikalaning wengi
Yan ring jagate Ida Sang Hyang Surya
Sane sida ngawinang galang,
Kreneban jagat tigane, sangkaing kautaman sastrane
Punika sane ngawinang,
Yan ring kulawarga,
Wantah putrane sane becik punika maka suluh.
Mangda sida kinucap putra suputra sadu gunawan, patut subhakti ring kang sinanggeh catur guru, mekadi ring guru rupaka, guru pengajian, guru wisesa, lan guru swadiaya. Napi mahawinan subhakti ring guru rupaka ? riantukan guru rupaka punika marupa sarira kret, sane ngardi iraga, anadata lan pranadata, sane nguripin tur miara iraga, ngicenin bhoga, upabhoga, lan paribhoga, mawit saking telenging garba ngantos embas saha duwur dados putra sane becik. Punika mahawinan iraga patut satinut ring sapituduh guru rupaka, sampunang langgana ring rerama, ngawinang tulah idup, alpaca guru.
Bhaktine ring guru pengajian, riantukan iraga kaicen kaweruhan, sida uning tata titi aguron guron , waged ring kadiatmikan , maka panuntun ngulati kerahayuan uripe wekasan. Asapunika taler bhaktine ring guru wisesa, riantukan iraga sareng sami puniki kawawa antuk sang mawa rat. Raris bhaktine ring guru swadiaya, riantukan ida sane meraga sangkan paraning dumadi, sane ngawawa sekala-niskala, ngupeti, setiti, lan mrelina sahanan sane wenten ring jagate.
Semeton Sareng Sami
Kapatutane kadi puniki ageng pisan pikonoh nyane rikale  nyanggre pawangunan jagat Baline, wastu sida kasinanggeh ajeg. Sane encen patut ajegang ? Majanten sane kaajegang punika marupa sahanan pratingkah lan parisolahe sane becik, manut swadharmaning adat lan budaya Baline sane merupa tetamian para panglingsire saking nguni
Iraga para yowana sareng sami, punika angge pratiwimba, nampa kauripane mangda sida plapan, sampunang nenga-nenga mlajah mauruk sastra, yan sekadi pemargine mangda sida rauh katanggu. Maka cutet masekolah mangda ngantos molihang ijazah, satsat panah pasupati pasuecan bhatara siwa ring Sang Arjuna rikala mancut Niwatakawaca sadaweg nglurug Swarga Lokane, saha sida jayanti. Raris  kaweruhane punika anggen nyanggra pawangunan jagate, pamekas ring Bali, wastu sida ajeg, duaning punika marupa kapatutan irage maprawerti , maka panrestian jadma Bali luih guna lan jagate Sutrepti.
Ngajegang jagat Bali puniki, marupa kapatutan irage sareng sami, maka pretisentana sane embas ring Bali, sane gumanti patut ngertiang warisan leluhur, mapiranti antuk mingsinggihang swadharmaning bela Negara. Yan saihang ring kawentane riin, para leluhure matohpati melanin gumi, riantukan kabanda antuk bromo corah, state pangusak asik, marikosa, mamati-mati wong tanpa dosa sane dados meseh dahat madurgama. Sane mangkin meseh asapunikatan wenten malih. Nanging panglalah budaya dura negarane patut waspadain, mangda tan ngarubeda, riantukan puniki ngawetuang jagat Baline usak. Adat budaya, lan sastra agamane anggen panegulan nekekang keajegan Baline sane sampun kaloktah rauh kejaba Negara. Ajeg Bali utamanyane adat lan budaya punika maka suluh ikang prabha, sane pacing nyuluhin ngulati jagat kerahayuan lan jagat Baline Sutrepti.
Ida Dane sareng sami
Yan cutetang titiang matur, maka pupulan daging pidarta :
1.      Ajeg Bali inggih punika sahanan prawertiane sane sida   ngelanggengang indik tetamian para leluhure nguni, makadi adat, budaya, lan satra agama. Boya jai rage tan dados nuduk budaya dura desa, yan kapikayun ngawetuang rahayu durusang, nanging patut waspadain.
2.      Sira sane patut ngajegang Jagat Baline puniki? Irage sareng sami, pamekas sami sapretisentanan Baline tur sang sapa sire ugi sane urip kamertain antuk sari –sarining bhoga jagat Baline,kamanggala antuk sang mawa rat, punika sane patut ngajegang, maserana antuk kayun lascarya tan paleteh.
3.      Indik ngajegang Bali, tan mari mawiweka antuk kapatutan, asing-asing sane ngawetuang paras-paros, sagilik-saguluk seka salunglung sabayantaka mataa karma, manut swadharmaning krama Bali.
4.      Dasar Ajeg Bali inggih punika Tri Hita Karana, sane kauripin antuk sastra agama Hindu. Desa Pakraman Wantah marupa genah miara sahasan pangwerdian Adat lan Budayane.

Ida dane sareng sami sane kusumayang titiang
Wantah asapunika mungguing atur pidartan titiang, mogi-mogi wenten pikenoh nyane. Menawi wenten munjuk lungsur atur titiang, tan lali titiang ngelungsur pangampura. Maka untatin atur, lugrayang titiang ngaturang parama santi.
Om Santhi Santhi Santhi Om.


Pagelaran Lawak Bondres


Pagelaran Lawak Bondres, dengan judul Dalem Putih,
Jumat - 9 September 2016, pukul 19.00 WITA, di Jaba Pura Puseh-Desa, Desa Adat Kedonganan.

Pementasan ini dalam rangka Puncak Karya Padudusan Agung, Mamungkah lan Ngenteg Linggih, di Pura Puseh Desa dan Pura Toya Ning, Desa Adat Kedonganan-Kuta.