SEJARAH &MAKNA
TRADISI MEBUUG-BUUGAN
DESA ADAT KEDONGANAN
Sejarah Mebuug-buugan
Pada era penjajahan jepang tahun 1942-1945 , keberadaan tradisi mebuug-buugan sudah
berakar dan manjadi permainan yang sangat ditunggu – tunggu di kalangan masyarakat kedonganan. Menurut
salah satu informan yang bernama Ni Wayan Doglas, pada masa itu adalah Alm I
Wayan Glibeg yang merupakan penggerak atau inisiator munculnya istilah
mebuug-buugan. Aktivitas ini awalnya dilaksanakan bertepatan dengan hari raya
nyepi atau tilem kesanga, karena menurut informan pada perayaan nyepi terdahulu
diperbolehkan untuk melakukan aktivitas. Hanya saja tidak diperbolehkan
mesuunan” atau memikul sesuatu benda di kepala. Oleh karenanya muncul beberapa
gagasan dari salah satu kelompok yang diketuai oleh Alm I Wayan Glibeg yang
akhirnya permaianan Mebuug-buugan ini selalu berjalan secara spontanitas. Pada masa
kepimpinan Alm I Wayan Rempyeg (Kak
Kleneng) menjabat sebagai Kelian Desa (Bendesa) tradisi mebuug buugan telah
menjadi sebuah permainan dikalangan anak-anak dan masyarakat saat itu.
Berlanjut pada era Alm I Wayan Rempyeg (Kak Kleneng) menjadi Kepala Desa, salah satu informan kunci
dan sekaligus sebagai pelaku I Made Gandil yang sempat bersekolah di SR/ KUTSU
JUKLU KOGAKO, KUTA, juga merupakan generasi kedua setelah dipelopori oleh Alm I
Wayan Glibeg. I made Gandil kelahiran 1923 ini, juga lebih dikenal dengan nama
Pekak Okoh merupakan salah satu pionir
munculnya beberapa aktivis kelompok masyarakat yang jaman tersebut di kedonganan
dikenal dengan nama Funu Bongkol, dan Funu Tebe. Sehingga ketika I made Gandil
menjabat menjadi kepala Desa Kedonganan Tradisi mebuug-buugan diteruskan oleh I
Made Rugeh berasal dari banjar pasek kelahiran tahun 1946. Pada era I Made
Rugeh terlibat sebagai pelaku dan inisiator saat itu sempat mengalami masa
stagnan sehingga Pada tahun 1960 tradisi
mebuug-buugan dimunculkan kembali oleh I Komang Rapeng. Ketika I Komang Rapeng
sebagai penggerak atau pinpinan kelompok permainan mebuug-buugan, pelaksanaan
dari tradisi mabuug – buugan dilaksanakan pada saat manis nyepi, yang dikarenakan
adanya seruan dari parisada bahwasannya pada saat nyepi tidak diperkenankan
melakukan aktivitas apapun. Letusan gunung agung pada tahun 1963, hingga pada tahun 1965 yaitu terjadinya Peristiwa G/30/ S PKI, yang pada saat itu terjadi penumpasan
partai komunis Indonesia , momentum ini sekaligus menjadi saksi bisu
tersimpannya permata budaya di desa adat kedonganan yaitu tradisi
mebuug-buugan.
MAKNA
Secara
etimologi bahasa mebuug-buugan
berasal dari kata “ Buug “ yang
berarti tanah / lumpur dan “ bhu ”
yang artinya ada atau wujud, sehingga berafiliasi menjadi kata “Bhur ” yang artiya Bumi, tanah atau
pertiwi sehingga awalan me- menjadi
sebuah kata kerja atau aktivitas. Dapat diartikan mebuug-buugan berarti sebuah interaktivitas dengan menggunakan
tanah/ lumpur ( buug) sebagai media.
Dalam
lontar Siwa Sesana, juga menyebutkan Lembu
Nandini sebagai wahana Dewa Siwa, yang tidak lain sebagai lambang ibu
pertiwi ( Bhur ) dan lambang kesuburan.
Dalam kontekstual makrokosmos ( Bhuwana
Agung ) mebuug-buugan adalah
bentuk ucapan syukur atas Kesuburan yang
telah dilimpahkan pada bumi pertiwi ( Bhuwana
Agung ) sebagai tempat manusia dan semua makhluk hidup ciptaan-Nya berkembang biak. Sangat jelas diungkapkan
dalam tradisi mebuug-buugan ,hal ini dipertegas dengan lagu berikut:
‘Mentul-menceng, mentul – menceng’
‘Glendang-glendong, glendang –
glendong.’
Lirik
lagu yang dinyanyikan selama perjalanan tradisi mebuug-buugan ini sangat
singkat dan secara umum mewakili dari makna’ Purusa dan Pradana” antara lingga
dan yoni”
Sedangkan
dari kontekstual mikrokosmos dari kata “Bhu” yang berarti ada atau wujud,
merupakan perwujudan badan kasar manusia ( Bhuwana
Alit ) yang terbentuk dari kelima unsur Panca
Maha Bhuta. Dalam Lontar Bhumi
Kawulan / Bhumi Siwagama menguraikan ;
Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara Guru mengutuk-Nya dan turun ke dunia
menjadi Panca Dhurga yaitu ; Sri
Dhurga, Raji Dhurga, Suksmi Dhurga, Dhari Dhurga, dan Dewi Dhurga. Sri Dhurga
beryoga menciptakan Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Bhuta Dengen. Raji Dhurga
beryoga minciptakan Jin-Setan, Bragala-Bregali, Bebai dan segala jenis
penyakit. Dhari Dhurga beryoga menciptakan Sang Bhuta Kapiragan, Suksmi Dhurga
beryoga menciptakan Kumala-Kumali ,Sweta dan lain-lain. Dewi Dhurga beryoga menciptakan
Bhuta Jangitan, Bhuta Langkir, Lembu Kere, Lembu Truna, dan Bhuta Tiga Sakti.
Melihat Uma menjadi Dhurga maka Bhatara Guru
mengutuk diri-Nya sendiri menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra
ini pada dewi Uma terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang waktu.
Melihat
dari refrensi lontar Bhumi Kawulan / Bhumi Siwagama semua unsur baik
makrokosmos ( Bhuwana Agung ) maupun
mikrokosmos ( Bhuwana Alit ) yang
terbentuk dari unsure – unsure Panca Maha Bhuta, diliputi dan dipenuhi oleh
kekuatan Bhuta Kala yang senantiasa memenuhi ruang dan waktu. Dalam hal ini manusia sebagai mahluk
ciptaan Tuhan juga tidak terhindar dari kekuatan bhuta yang memenuhi ruang dan waktu tersebut. Oleh
karena itu seyogyanya umat Hindu menetralisir hal-hal atau pun sifat – sifat
buruk yang berasal dari sifat sifat Panca Maha Bhuta sebagai unsure pembentuk
badan kasar. Dalam hal menetralisir kekuatan / sifat – sifat buruk pada diri
manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan tapa Brata Yoga Semadi.
Korelasi mebuug – buugan dengan pelaksanaan
Tapa Brata Yoga Semadi dalam rangka menetralisir kekuatan Panca Maha Bhuta ( Nyomia Bhuta ) sangat jelas terlihat
dari rangkaian pelaksanaan prosesinya. Dimulai dari kegiatan upacara yang
bertujuan untuk menetralisir keuatan bhuta pada makrokosmos dengan pelaksanaan
upacara menghaturkan caru Tawur Kesanga yang dipusatkan pada catus pata sebagai
stana sang hyang adikala. Sedangkan pada diri manusia (mikrokosmos ), kekuatan
bhuta dinetralisir dengan melaksnakan Catur Brata Penyepian yang pelaksanaannya
bertepatan pada hari Raya Nyepi. Pelaksanaan Catur Brata Penyepian
meliputi Amati Geni, Amati Lelungaan,
Amati karya, Amati Lelangunan. Dengan memaknai sebuah pengendalian diri /
introspeksi diri ( Mulat Sarira ), kita diharapkan mampu mengendalikan segala
bentuk kekuatan bhuta yang ada dalam diri manusia, sehingga kita bisa
terbebaskan dari dosa atas pikiran, dosa
atas perkataan dan dosa atas perbuatan kita.
Visualisasi
dari belenggu kekuatan Bhuta dan keterbebasan kita dari kekuatan Bhuta itu
sendiri diwujudkan dengan mebuug – buugan. Dalam konteks mebuug-buugan manusia yang divisualisasikan dengan balutan gestur
tanah / lumpur di maknai sebagai perwujudan Bhuta Kala atau kekotoran yang melekat
dalam badan kasar manusia.
Untuk
dapat menghilangkan kekuatan bhuta dalam buana alit ( badan Kasar manusia),
akan dimohonkan anugrah dari kekuatan laut (Segara) yang berfungsi sebagai
kekuatan penyempurnaan ( Pemarisudha )
oleh;
I Made Sudarsana S.Sn.,M.Sn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar