Sabtu, 05 November 2016

SEJARAH &MAKNA
TRADISI MEBUUG-BUUGAN 
DESA ADAT KEDONGANAN





Sejarah Mebuug-buugan
            Pada era penjajahan jepang tahun 1942-1945 ,  keberadaan tradisi mebuug-buugan sudah berakar dan manjadi permainan yang sangat ditunggu – tunggu   di kalangan masyarakat kedonganan. Menurut salah satu informan yang bernama Ni Wayan Doglas, pada masa itu adalah Alm I Wayan Glibeg yang merupakan penggerak atau inisiator munculnya istilah mebuug-buugan. Aktivitas ini awalnya dilaksanakan bertepatan dengan hari raya nyepi atau tilem kesanga, karena menurut informan pada perayaan nyepi terdahulu diperbolehkan untuk melakukan aktivitas. Hanya saja tidak diperbolehkan mesuunan” atau memikul sesuatu benda di kepala. Oleh karenanya muncul beberapa gagasan dari salah satu kelompok yang diketuai oleh Alm I Wayan Glibeg yang akhirnya permaianan Mebuug-buugan ini selalu berjalan secara spontanitas. Pada masa kepimpinan Alm I Wayan Rempyeg (Kak Kleneng) menjabat sebagai Kelian Desa (Bendesa) tradisi mebuug buugan telah menjadi sebuah permainan dikalangan anak-anak dan masyarakat saat itu.
Berlanjut pada era Alm I Wayan Rempyeg (Kak Kleneng)  menjadi Kepala Desa, salah satu informan kunci dan sekaligus sebagai pelaku I Made Gandil yang sempat bersekolah di SR/ KUTSU JUKLU KOGAKO, KUTA, juga merupakan generasi kedua setelah dipelopori oleh Alm I Wayan Glibeg. I made Gandil kelahiran 1923 ini, juga lebih dikenal dengan nama Pekak Okoh   merupakan salah satu pionir munculnya beberapa aktivis kelompok masyarakat yang jaman tersebut di kedonganan dikenal dengan nama Funu Bongkol, dan Funu Tebe. Sehingga ketika I made Gandil menjabat menjadi kepala Desa Kedonganan Tradisi mebuug-buugan diteruskan oleh I Made Rugeh berasal dari banjar pasek kelahiran tahun 1946. Pada era I Made Rugeh terlibat sebagai pelaku dan inisiator saat itu sempat mengalami masa stagnan sehingga  Pada tahun 1960 tradisi mebuug-buugan dimunculkan kembali oleh I Komang Rapeng. Ketika I Komang Rapeng sebagai penggerak atau pinpinan kelompok permainan mebuug-buugan, pelaksanaan dari tradisi mabuug – buugan dilaksanakan pada saat manis nyepi, yang dikarenakan adanya seruan dari parisada bahwasannya pada saat nyepi tidak diperkenankan melakukan aktivitas apapun. Letusan gunung agung pada tahun 1963,  hingga pada tahun 1965  yaitu terjadinya Peristiwa  G/30/ S PKI, yang pada saat itu terjadi penumpasan partai komunis Indonesia , momentum ini sekaligus menjadi saksi bisu tersimpannya permata budaya di desa adat kedonganan yaitu tradisi mebuug-buugan.

MAKNA
Secara etimologi bahasa mebuug-buugan berasal dari kata “ Buug “ yang berarti tanah / lumpur dan “ bhu ” yang artinya ada atau wujud, sehingga berafiliasi menjadi kata “Bhur ” yang artiya Bumi, tanah atau pertiwi  sehingga awalan me- menjadi sebuah kata kerja atau aktivitas. Dapat diartikan mebuug-buugan berarti sebuah interaktivitas dengan menggunakan tanah/ lumpur ( buug) sebagai media.
Dalam lontar Siwa Sesana, juga menyebutkan Lembu Nandini sebagai wahana Dewa Siwa, yang tidak lain sebagai lambang ibu pertiwi ( Bhur ) dan lambang kesuburan. Dalam kontekstual makrokosmos ( Bhuwana Agung ) mebuug-buugan adalah bentuk ucapan syukur atas  Kesuburan yang telah dilimpahkan pada bumi pertiwi ( Bhuwana Agung ) sebagai tempat manusia dan semua makhluk hidup ciptaan-Nya  berkembang biak. Sangat jelas diungkapkan dalam tradisi mebuug-buugan ,hal ini dipertegas dengan lagu berikut:
‘Mentul-menceng, mentul – menceng’
‘Glendang-glendong, glendang – glendong.’
Lirik lagu yang dinyanyikan selama perjalanan tradisi mebuug-buugan ini sangat singkat dan secara umum mewakili dari makna’ Purusa dan Pradana” antara lingga dan yoni”
Sedangkan dari kontekstual mikrokosmos  dari kata “Bhu” yang berarti ada atau wujud, merupakan perwujudan badan kasar manusia ( Bhuwana Alit ) yang terbentuk dari kelima unsur Panca Maha Bhuta.  Dalam Lontar Bhumi Kawulan / Bhumi Siwagama  menguraikan ; Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara Guru mengutuk-Nya dan turun ke dunia menjadi Panca Dhurga yaitu ; Sri Dhurga, Raji Dhurga, Suksmi Dhurga, Dhari Dhurga, dan Dewi Dhurga. Sri Dhurga beryoga menciptakan Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Bhuta Dengen. Raji Dhurga beryoga minciptakan Jin-Setan, Bragala-Bregali, Bebai dan segala jenis penyakit. Dhari Dhurga beryoga menciptakan Sang Bhuta Kapiragan, Suksmi Dhurga beryoga menciptakan Kumala-Kumali ,Sweta dan lain-lain. Dewi Dhurga beryoga menciptakan Bhuta Jangitan, Bhuta Langkir, Lembu Kere, Lembu Truna, dan Bhuta Tiga Sakti. Melihat Uma menjadi Dhurga maka Bhatara Guru  mengutuk diri-Nya sendiri menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada dewi Uma terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang waktu.
Melihat dari refrensi lontar Bhumi Kawulan / Bhumi Siwagama semua unsur baik makrokosmos ( Bhuwana Agung ) maupun mikrokosmos ( Bhuwana Alit ) yang terbentuk dari unsure – unsure Panca Maha Bhuta, diliputi dan dipenuhi oleh kekuatan Bhuta Kala yang senantiasa memenuhi ruang dan  waktu. Dalam hal ini manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan juga tidak terhindar dari kekuatan bhuta yang  memenuhi ruang dan waktu tersebut. Oleh karena itu seyogyanya umat Hindu menetralisir hal-hal atau pun sifat – sifat buruk yang berasal dari sifat sifat Panca Maha Bhuta sebagai unsure pembentuk badan kasar. Dalam hal menetralisir kekuatan / sifat – sifat buruk pada diri manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan tapa Brata Yoga Semadi.
 Korelasi mebuug – buugan dengan pelaksanaan Tapa Brata Yoga Semadi dalam rangka menetralisir kekuatan Panca Maha Bhuta ( Nyomia Bhuta ) sangat jelas terlihat dari rangkaian pelaksanaan prosesinya. Dimulai dari kegiatan upacara yang bertujuan untuk menetralisir keuatan bhuta pada makrokosmos dengan pelaksanaan upacara menghaturkan caru Tawur Kesanga yang dipusatkan pada catus pata sebagai stana sang hyang adikala. Sedangkan pada diri manusia (mikrokosmos ), kekuatan bhuta dinetralisir dengan melaksnakan Catur Brata Penyepian yang pelaksanaannya bertepatan pada hari Raya Nyepi. Pelaksanaan Catur Brata Penyepian meliputi  Amati Geni, Amati Lelungaan, Amati karya, Amati Lelangunan. Dengan memaknai sebuah pengendalian diri / introspeksi diri ( Mulat Sarira ), kita diharapkan mampu mengendalikan segala bentuk kekuatan bhuta yang ada dalam diri manusia, sehingga kita bisa terbebaskan dari  dosa atas pikiran, dosa atas perkataan dan dosa atas perbuatan kita.
Visualisasi dari belenggu kekuatan Bhuta dan keterbebasan kita dari kekuatan Bhuta itu sendiri diwujudkan dengan mebuug – buugan. Dalam konteks mebuug-buugan manusia yang divisualisasikan dengan balutan gestur tanah / lumpur di maknai sebagai perwujudan Bhuta Kala atau kekotoran yang melekat dalam badan kasar manusia.
Untuk dapat menghilangkan kekuatan bhuta dalam buana alit ( badan Kasar manusia), akan dimohonkan anugrah dari kekuatan laut (Segara) yang berfungsi sebagai kekuatan penyempurnaan ( Pemarisudha )

oleh;
I Made Sudarsana S.Sn.,M.Sn









Tidak ada komentar:

Posting Komentar